Di ufuk barat, matahari perlahan tenggelam di balik gunung-gunung hijau Wondama. Cahaya keemasan memantul di permukaan laut yang tenang, seperti lukisan tangan Tuhan yang penuh kasih. Angin pesisir berhembus lembut, membawa harum garam dan doa dari hati rakyat yang sederhana. Di sinilah, di tanah berkat Cenderawasih, cinta dan persaudaraan tumbuh di antara ombak dan hutan, di antara doa dan kerja.
“Teluk Wondama bukan hanya indah karena laut dan gunungnya,” tutur Gubernur Drs. Dominggus Mandacan, M.Si., dengan suara yang bergetar menahan haru, “tetapi juga karena hati masyarakatnya yang penuh kasih. Mari kita jaga kebersamaan ini dan terus berkarya untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan rakyat Papua Barat.”
Kata-kata itu mengalun di udara sore seperti mazmur yang menenangkan. Seolah alam pun turut mengaminkan—ombak berdebur pelan, dedaunan bergoyang lembut, dan burung-burung menari di langit jingga.
Sejenak semua yang hadir terdiam, meresapi makna yang dalam dari setiap kata sang Gubernur: bahwa kemuliaan Tuhan tak hanya tampak di gereja, tetapi juga di tanah, laut, dan kerja tangan manusia.
Acara ramah tamah malam itu diselimuti nuansa syukur dan persaudaraan. Tarian adat Wondama mengalun anggun, setiap gerak dan hentakan kaki seperti doa yang naik ke langit. Lagu-lagu daerah dinyanyikan dengan sukacita, menggema dari hati yang tulus.
Pemerintah Kabupaten Teluk Wondama menyerahkan cenderamata kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat—sebuah tanda kasih dan hormat, simbol bahwa kepemimpinan bukan tentang kuasa, melainkan tentang pelayanan dan cinta.
Malam kian larut. Di halaman kantor bupati, lampu-lampu taman berkelap-kelip seperti bintang yang turun ke bumi. Di kejauhan, Teluk Cenderawasih berkilau diterpa cahaya bulan.
Suara debur ombak menjadi musik pengiring, mengisi ruang hening dengan damai. Di antara tawa, doa, dan rasa syukur, Tuhan hadir di tengah-tengah umat-Nya.
Sebagai penutup, seluruh hadirin menundukkan kepala dalam doa bersama.
Gubernur memimpin dengan suara lembut, “Tuhan, terima kasih atas tanah yang Kau titipkan ini. Ajarlah kami menjaga keindahan-Mu, menghargai sesama, dan bekerja dengan kasih. Jadikan Papua Barat bukan hanya indah di mata, tetapi juga indah di hati.”
Selesai berdoa, mereka menikmati jamuan makan malam yang sederhana namun penuh makna: ikan bakar segar dari laut Wondama, papeda hangat, kuah kuning, dan sambal rica pedas menggugah selera.
Makan bersama di bawah langit Papua itu bukan sekadar santapan jasmani, melainkan perjamuan kasih — lambang kesatuan antara pemimpin dan rakyatnya, antara iman dan alam, antara manusia dan Tuhan.
Malam itu, di Teluk Wondama, keindahan tidak hanya terlihat, tetapi dirasakan.
Dan di setiap hembusan angin laut, seakan terdengar firman yang lembut:
“Sebab bumi akan penuh dengan pengetahuan tentang kemuliaan TUHAN, seperti air yang menutupi lautan.”
— Habakuk 2:14
Semoga dari Wondama, cinta ini menyebar ke seluruh Tanah Papua —
membangunkan semangat untuk hidup dalam kasih, bekerja dengan tulus,
dan menjaga alam Cenderawasih sebagai rumah yang diberkati Tuhan.
Penulis : Amatus Rahakbauw























