ASAHAN, TEMPO TIMUR — Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal kesehatan masyarakat dan stabilitas ekonomi daerah. Salah satu isu yang menonjol adalah konsumsi rokok yang tinggi. Data menunjukkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia, terutama di kalangan remaja, terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa prevalensi perokok aktif di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 28,96% dari total penduduk usia di atas 15 tahun.hal ini di katakan oleh Willda Sofianita salah seorang mahasiswi Universitas Indonesia Maju(UIM) .
Ini setara dengan sekitar 70 juta orang, berdasarkan proyeksi jumlah penduduk Indonesia yang saat itu berkisar di angka 273 juta jiwa. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, pemerintah membutuhkan pendapatan tambahan untuk mengatasi dampak pandemi, mendorong pembangunan, dan memperkuat layanan kesehatan.
Dalam situasi ini, kebijakan kenaikan cukai rokok menjadi salah satu langkah strategis yang tidak hanya akan menekan konsumsi rokok, tetapi juga meningkatkan pendapatan negara dan daerah.Kenaikan cukai rokok bukanlah kebijakan yang baru.
Pemerintah telah menaikkan tarif cukai rata-rata sebesar 10% pada 2023, namun dampaknya belum maksimal.ucap ya lagi.
Salah satu alasan adalah adanya disparitas harga antara merek rokok premium dan rokok murah. Rokok murah tetap mudah dijangkau oleh konsumen, termasuk anak-anak dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan mengatasi masalah ini melalui penyederhanaan struktur tarif cukai, pemerintah dapat lebih efektif mengendalikan konsumsi.Selain itu, tingkat konsumsi rokok yang tinggi membawa beban besar bagi sistem kesehatan.
Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pengobatan penyakit terkait rokok seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan stroke menyedot anggaran triliunan rupiah setiap tahun. Dengan meningkatkan cukai rokok.
Pemerintah tidak hanya dapat menekan prevalensi perokok, tetapi juga membebaskan anggaran kesehatan untuk program yang lebih prioritas.
Dari sisi keuangan daerah, cukai rokok berkontribusi signifikan melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
DBH CHT dialokasikan untuk mendukung pembangunan daerah, terutama dalam sektor kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun, rendahnya penerimaan cukai menghambat potensi maksimal dari dana ini.
Dengan menaikkan tarif cukai secara signifikan, daerah dapat memperoleh porsi DBH CHT yang lebih besar, membantu mereka memperkuat layanan publik.Keadaan saat ini juga menunjukkan bahwa beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan peraturan daerah (Perda) yang mendukung pengendalian konsumsi rokok.
Misalnya, sejumlah daerah telah memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan meningkatkan edukasi bahaya merokok di sekolah-sekolah.
Implementasi Perda ini wajib mengikuti amanah dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012, yang menegaskan bahwa pemerintah daerah harus menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.
Selain itu, beberapa daerah juga mengeluarkan kebijakan untuk melarang iklan dan promosi rokok, sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 35Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan Undang – undang Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Pelarangan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh iklan rokok, yang dapat mendorong mereka untuk merokok.
Namun, tanpa dukungan regulasi yang lebih kuat di tingkat nasional, seperti kenaikan cukai, efek kebijakan ini belum optimal.PenutupKenaikan cukai rokok adalah langkah berani yang harus segera diambil oleh pemerintah.
Kebijakan ini menawarkan solusi ganda: menekan konsumsi rokok demi kesehatan masyarakat dan meningkatkan pendapatan negara serta daerah. Dengan kondisi ekonomi yang membutuhkan pemulihan dan sistem keseh. (*/edi)